Senin, Oktober 27, 2008

Perenungan : Serial CINTA



;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
Tulisan ini mengingatkanku pada seorang wanita yang senyumnya selalu kurindu...
seorang wanita yang belaiannya kutunggu..., dan seorang laki - laki yang menjadi inspirasiku Teruntuk kepada Ibu dan Abahku....Maafkan jika anakmu ini tak berbakti dengan baik

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya kepada Umar Bin Khattab: "Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?" Lalu Umar pun menjawab: "Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu".
Tidak! Tidak! Tidak! Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu.
Apalagi mengimbanginya.
Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan : disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain. Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya. Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjawabk an di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: Anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat do'a-do'a sang anak. ............ ......... .....

(Anis Matta : Serial Cinta)

Tidak ada komentar: